submitt

Strategi Pilgub Jatim

8:28 AM | , , , , , , ,

JatimNews, Pemilihan gubernur Jawa Timur menghadirkan drama. Khofifah Indar Parawansa membutuhkan keajaiban untuk bisa ditetapkan sebagai kandidat gubernur oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur. "Berdoa saja," kata seorang tokoh NU di Jember, saat saya tanya.

Suara partai politik untuk Khofifah terancam tak utuh, karena ada dualisme dukungan. Pengurus Partai Kedaulatan dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia mengalami konflik internal masing-masing: satu pihak mendukung Khofifah, dan yang lain mendukung Soekarwo.

Tanpa suara dari dua parpol ini, Khofifah tidak akan memenuhi syarat pencalonan, yang mengharuskan dukungan satu atau lebih partai politik dengan akumulasi perolehan suara saat pemilu 2009 mencapai 15 persen. Rapat pleno KPU akan digelar 16 Juni 2013 mendatang. Tak mudah bagi Khofifah mencari gabungan parpol lain untuk menambal lubang koalisi partainya. Apa yang bisa diambil dari drama politik ini?

Sikap Politik Rapuh

Pertama, Tanpa harus menuding siapa yang salah dan benar, dualisme tersebut menunjukkan betapa rapuhnya sikap politik parpol gurem. Dengan kepastian tak bisa mengikuti pemilu 2014, partai-partai gurem ini sebenarnya sudah tak memiliki agenda politik signifikan yang bisa diperjuangkan. Satu-satunya yang membuat mereka punya posisi dalam konstalasi politik saat ini adalah masih diakuinya modal politik mereka: perolehan suara dalam pemilu 2009 hingga 2014 nanti.

Modal politik tanpa agenda perjuangan politik membuka peluang kemungkinan bagi partai untuk melakukan transaksional untuk kepentingan pragmatis. Salah satunya adalah pemberian dukungan kepada calon kepala daerah.

Politik transaksional ini tidak etis tentu saja, jika mengacu pada tujuan pendirian partai politik. Salah satu tujuan partai politik adalah memberikan edukasi kepada masyarakat tentang hak-hak politik dan menjadi tempat kaderisasi pemimpin. Tujuan tersebut mengandaikan partai sebagai sebuah proses panjang, menampik kesegeraan dan ketergesaan dalam berpolitik.

Politik transaksional jelas tidak mengenal proses tersebut. Tak ada jaminan pilihan untuk mendukung seorang kandidat kepala daerah muncul setelah berkomunikasi dengan konstituen. Bisa jadi, pilihan itu hanyalah preferensi elite-elite partai belaka.

Kita tentu menyayangkan, jika benar bahwa dualisme itu terjadi karena transaksional politik elite-elite dua partai politik tersebut. Pada akhirnya demokrasi bisa mati muda karena model politik seperti ini. Dari sinilah kita memahami betapa pentingnya pemilu diikuti oleh sesedikit mungkin partai. Partai-partai yang tak memiliki strategi politik yang jelas serta tak punya modal sosial kultural yang mengakar kuat memang sudah selayaknya tak mengikuti pemilu.

Efek Cinderella

Kedua, drama politik pilgub Jatim menghadirkan sosok Cinderella. Dalam dongeng anak-anak, Cinderella adalah sosok teraniaya yang disia-siakan oleh ibu dan saudara-saudara tirinya. Ia selalu diperlakukan tak adil. Namun sebagaimana halnya dongeng di mana pun, yang teraniaya pada akhirnya menang.

Politik tentu tak seindah dongeng. Namun satu hal yang tak bisa ditampik, kehadiran Cinderella selalu memunculkan simpati. Khofifah mungkin berpotensi menjadi Cinderella yang menarik simpati banyak orang. Simpati ini bisa menjadi bola salju yang membuat publik mendukungnya. Secara alamiah, publik Indonesia selalu mudah jatuh hati pada sosok teraniaya dan tak berdaya.

Dukungan dan simpati dari 'efek Cinderella' itu bisa mendongkrak suara Khofifah, jika memang ternyata nantinya ketua umum Muslimat NU itu benar-benar lolos sebagai peserta pemilu. Memori pemilihan gubernur 2008 di mana dia 'nyaris menang' akan menjadi senjata ampuh saat dikombinasikan dengan 'efek Cinderella' ini.

Namun bagaimana jika ternyata Khofifah benar-benar gagal ditetapkan sebagai kandidat gubernur? Semua tergantung Khofifah: apakah dia memilih diam atau tetap melawan?

Jika memilih melawan, maka Khofifah kemungkinan akan menggunakan 'Efek Cinderella' itu untuk dua hal. Pertama, untuk mengampanyekan golput yang bisa 'mengganggu' legitimasi sosial calon terpilih nanti. Kedua, untuk mendukung Bambang Dwi Hartono, kandidat PDI Perjuangan. Dia bisa berkampanye untuk Bambang dengan menjadikan kandidat petahana sebagai 'lawan politik bersama'.

Dan potensi seperti ini bukannya tak ada, mengingat Khofifah selama ini memang dikenal sebagai sosok yang 'die hard' dalam urusan politik. Ini juga akan menjadi politik balas budi Khofifah, mengingat pada 2008 silam, PDIP mendukungnya pada putaran kedua.

Yang menarik dinanti adalah seberapa besar 'efek Cinderella' ini terhadap warga NU, jika dgunakan untuk mendukung Bambang yang 'abangan'. 'Efek Cinderella' akan berhadapan dengan karisma seorang Saifullah Yusuf, calon wakil gubernur petahana, yang memiliki pengaruh cukup luas pula di kalangan NU. Selamat menyaksikan.
 Sumber (http://www.beritajatim.com/sorotan.php?newsid=1417)

0 comments:

Post a Comment