Marhaenisme merupakan paham yang
dikembangkan dari pemikiran Soekarno. Ajaran ini menggambarkan kehidupan
rakyat kecil. Orang kecil yang dimaksud adalah petani dan buruh yang
hidupnya selalu dalam cengkraman orang orang kaya dan penguasa.
Marhaenisme diambil dari nama seseorang
yang hidup di Indonesia. Dia adalah seorang petani yang bernama Marhaen
mempunyai lahan sendiri, lahan itu dia kerjakan sendiri dan hasilnya
cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya yang sederhana.
Marhaenisme pada esensinya sebuah faham perlawanan yang terbentuk dari sosio-demokrasi dan sosio-ekonomi Bung Karno.
Legenda Marhaen
Legenda Marhaen
Masih ingat legenda tentang dialog
antara Soekarno (Bung Karno) dan seorang petani miskin bernama Marhaen?
Mang Darmin adalah salah satu cucu Marhaen itu.
Soekarno bertemu dengan Marhaen secara
kebetulan ketika sedang berjalan-jalan di daerah Cigereleng, Bandung.
Dia melihat seorang petani yang sedang menggarap sawah dan kemudian
menghampirinya serta mengajaknya bicara.
John D Legge, mantan guru besar sejarah
di Monash University Australia, dalam bukunya yang berjudul Sukarno A
Political Biography juga mendeskripsikan pembicaraan Soekarno dengan
Marhaen itu.
”Milik siapa tanah ini?” tanya Soekarno.
”Saya,” jawab Marhaen
”Cangkul ini milik siapa?”
”Saya.”
”Kalau peralatan-peralatan itu semua milik siapa?”
”Punya saya.”
”Hasil panen yang kamu kerjakan ini untuk siapa?”
”Untuk saya.”
”Apakah itu cukup untuk keperluan kamu?”
”Hasilnya pas-pasan untuk mencukupi hidup kami.”
”Apakah kamu juga bekerja menggarap tanah orang?”
”Tidak. Saya harus bekerja keras. Semua tenaga saya untuk lahan saya sendiri.”
”Tapi kawan, hidup kamu dalam kemiskinan?”
”Benar, saya hidup dalam kemiskinan.”
Sedemikian terkenalnya legenda ini
sehingga bukan hanya terdengar di Indonesia, tetapi juga ke luar negeri.
Marhaen juga dijadikan simbol oleh Soekarno untuk membangkitkan petani
dan rakyat miskin. Berkembanglah faham marhaenisme.
Persoalannya, cita-cita Bung Karno untuk
menjadikan kemerdekaan sebagai jembatan emas bagi segenap bangsa
Indonesia untuk mencapai kemakmuran itu belum tercapai
Ki Marhaen mempunyai satu putra, yaitu
Ki Udung, yang menikah dengan Arsama. Dari pernikahan itu, Ki Marhaen
kemudian mendapat tujuh cucu. Darmin adalah cucu nomor tiga. Ia sendiri
kini sudah memiliki empat cucu dan satu cicit. Artinya, sudah enam
generasi keturunan Ki Marhaen.
Ironi Kemerdekaan
Dalam banyak buku, menurut Darmin,
banyak yang menuliskan bahwa kakeknya itu punya sawah. Tetapi, yang ia
dengar sendiri dari cerita ibunya, Arsama, kakeknya itu hidup dalam
kemiskinan, tidak punya tanah sendiri.
”Mungkin karena ditanya Bung Karno, dijawab miliknya, padahal cuma kerja,” paparnya.
Saat Darmin hadir diundang ke sebuah
pertemuan di Jakarta, ada juga yang mengaku-aku sebagai cucu Marhaen dan
bergelar doktorandus dan insinyur. Padahal, kenyataannya, keturunan
Marhaen itu untuk lulus sekolah dasar saja sudah setengah mati.
”Sebenarnya, lulus SD saja sudah hampir-hampir,” paparnya.
Menurut Darmin, dari tujuh bersaudara,
hanya almarhum kakaknya, Darman, yang hidup cukup lumayan, yaitu sebagai
tentara. Darman bergabung dalam Batalyon 328 dan pernah diterjunkan ke
Irian Barat.
”Waktu berangkat pangkatnya prada, pulang jadi praka. Lainnya hanya buruh tani,” ujarnya.
Ayit, adik Darmin yang ditemui di
rumahnya, di Kelurahan Menggor No 28, RT 2 RW 3, Kecamatan Bandung
Kidul, juga bercerita banyak hal tentang kesulitan hidup yang dia
hadapi.
”Ibu mah kieu wae. Bumi oge butut (Ibu itu seperti ini saja. Rumah juga jelek),” kata Ayit.
Dia selalu bermimpi mempunyai dapur yang baik, tetapi belum juga kesampaian karena hanya menjadi buruh tani.
Darmin dan Ayit menjadi bukti bahwa
kemerdekaan yang dijanjikan belum memberikan banyak perubahan. Jikalau
benar dialog Soekarno dengan Marhaen seperti ditulis di banyak buku,
nasib cucu-cucu Marhaen berarti semakin buruk.
Kalau dulu sang kakek masih mempunyai
tanah, generasi berikutnya tidak lagi. Tetapi, kalau versi yang
diceritakan Darmin benar, berarti nasib Marhaen dan keturunannya tidak
berubah, masih menjadi petani miskin yang hanya bisa hidup seadanya.
Sebuah ironi bagi faham marhaenisme yang pernah menjadi simbol perjuangan kebangkitan rakyat miskin pada masa Soekarno.
0 comments:
Post a Comment